Oleh Rizal Badudu
Pola pikir kebanyakan manusia tanpa sadar
telah menjadi sebuah perangkap bagi banyak keluarga yang memusnahkan
nilai-nilai sakral yang seharusnya menjadi penjamin akan pembentukan
generasi ilahi. Berbicara mengenai “merebut” kembali gunung keluarga
akan menjadi tantangan tersendiri di tengah-tengah era yeng seperti
sekarang. Bersama Tuhan tentu tidak ada yang mustahil, namun kerja sama
kita juga mutlak diperlukan. Ada empat pilar yang akan membantu kita
untuk mengembalikan pendidikan keluarga pada jalur yang sebenarnya.
Gaya Hidup
Konsep berpikir seperti harus menjadi yang terunggul, terbaik,
tertinggi dan terhebat saat ini merajai hampir semua orang tua. Yang
lebih buruk lagi adalah konsep ini sering “diperkuat” dengan berbagai
ayat Alkitab yang dianggap sesuai, seperti “Kamu akan menjadi kepala dan
bukan ekor”. Dengan pola pikir seperti ini, banyak keluarga pada
akhirnya mengejar apa yang harusnya tidak perlu dikejar. Bahkan yang
Tuhan tidak inginkan untuk kita kejar.
Perhatikan bahwa Firman Tuhan tidak mengajari kita untuk menjadi yang
terbaik, tertinggi, terhebat, dan sebagainya. Jika kebablasan maka orang
Kristen akan merasa harus menjadi orang nomor satu di setiap bidang
yang mereka tekuni. Akibat sampingan lainnya, jika orang Kristen tidak
mencapai yang “ter”, maka akan dianggap memiliki dosa yang
menghalanginya menjadi yang terbaik, terkaya, tertinggi dan lain-lain.
Mari kita renungkan, dari mana sebetulnya pola berpikir seperti ini?
Tidak disadari bahwa pola pikir lama-kelamaan akan membentuk sebuah
gaya hidup. Hal inilah yang seharusnya diwaspadai oleh setiap keluarga.
Orang tua banyak yang berpikir bahwa anak-anak mereka harus menjadi yang
terbaik. Kebanggaan akan sangat besar jika anak mencapai ranking
teratas di sekolah, namun sebaliknya menjadi depresi ketika anak-anak
tidak berhasil memenuhi target sang orang tua. Ambisi untuk
menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah terbaik yang berlabel
internasional saat ini merasuki banyak sekali orang tua. Padahal belum
tentu sekolah internasional lebih baik dari sekolah yang lain. Tanpa
sadar, hal-hal inilah yang dikejar mati-matian oleh setiap Papa dan
Mama. Memang ini bukan hal yang sepenuhnya salah. Hanya saja, hal
seperti ini bukanlah yang Tuhan inginkan. Orang tua tidak peduli sejauh
apapun sebuah sekolah itu dari rumahnya, yang penting terbaik. Padahal
efek sampingannya sangat vital, yaitu waktu berkumpul dengan orang tua
menjadi semakin sedikit. Belum lagi anak-anak yang belum sepenuhnya siap
dalam sisi mental dan kematangan, yang dikirim ke luar negeri untuk
menimba ilmu. Semua dengan satu motivasi, yaitu mencari apa yang menurut
orang tua akan menghasilkan yang TER- tadi.
Pertanyaannya adalah apakah Firman Tuhan mengajarkan bahwa jika anak
kita menguasai bahasa Inggris, dia akan berhasil? Jika anak kita lancar
berbicara Mandarin, maka akan sukses? Satu hal lagi yang sering
dilakukan oleh orang tua adalah mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai
macam les dan kursus. Bayangkan jika seorang anak harus dibebani sampai
delapan macam les.
“Anak saya perlu bahasa Inggris untuk go international,
anak saya perlu bahasa Mandarin karena saat ini China menguasai dunia,
saya tidak bisa mengajari anak saya Fisika makanya dia perlu untuk les,”
dan banyak alasan yang sangat masuk akal dilontarkan orang tua. Ini
semua memang DIPERLUKAN, tapi yang tidak mereka pecahkan adalah
anak-anak yang masih ada di sekolah dasar ini akan berangkat ke sekolah
jam enam pagi, dan pulang jam tujuh malam, atau bahkan lebih. Anak-anak
ini melebihi karyawan dan mahasiswa. Orang tua sekarang “sangat senang”
melihat anaknya diperlengkapi di luar rumah –sekali lagi di luar rumah-
dan kemudian berpikir bahwa semua sudah beres. Akhirnya kegiatan yang
berlangsung di rumah hanyalah makan, santai dan tidur. Interaksi dan
hubungan tidak lagi diindahkan. Bagi orang tua, yang penting tidak ada
konflik. Inilah gaya hidup orang tua saat ini.
Pola berikutnya adalah penggunaan suster. Tidak ada yang salah dengan
hal ini, hanya saja penggunaan suster telah menjadi kebablasan. Semua
hal dilakukan oleh suster. Sang suster harus berlari-lari mengejar anak
untuk diberi atau disuapi makan. Bukankah makan harus berlangsung di
meja makan? Inilah gaya hidup kita yang tidak pada tempatnya lagi. Saya
sering katakan bahwa ”anak-anak harus dididik untuk makan di meja
makan. Mereka tidak akan mati kalau pun tidak dikejar sang suster.”
Dengan cara seperti ini, semakin jauh disiplin akan bisa ditanamkan
kepada anak-anak kita. Lantas kemana raibnya sang Papa dan ke mana
menghilangnya sang Mama? Semuanya menjadi terbalik saat ini. Parahnya,
ini semua dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Sebetulnya jika ditarik ke belakang, kita sedang mengulang sejarah. Ada
dua kebudayaan yang membentuk apa yang saat ini kita lihat dalam
kehidupan masyarakat umum. Yang pertama adalah budaya Yunani. Ini
merupakan sebuah kebudayaan yang dibentuk oleh para ”pemikir ulung”
dengan segala filosofi mereka yang begitu kental, membentuk sikap dan
gaya hidup manusia modern saat ini. Orang-orang seperti Socrates,
Aristoteles, Plato, Alexander Agung dan banyak yang lain lagi, begitu
dipuja dan disanjung sampai hari ini. Bandingkan dengan apa yang saya
pelajari tentang mereka. Kehidupan moral dari tokoh-tokoh tersebut
ternyata sangat buruk. Seberapa pintar pun seseorang, jika tidak
ditunjang dengan moral yang baik pasti akan menghasilkan hal-hal buruk.
Banyak yang tidak mengetahui bahwa orang-orang ini adalah penganut
homosexual sejati. Lantas apa yang kita bisa harapkan dari orang-orang
dengan kualitas moral seperti ini untuk demikian kuatnya mempengaruhi
budaya kita saat ini? Jika tipe manusia seperti mereka dijadikan kiblat
oleh peradaban manusia, tidak heran apa yang sekarang ini kita lihat
adalah budaya dan gaya hidup yang begitu kacau dan terbalik. Perhatikan
bahwa ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, 500 tahun sebelum masehi
bahkan. Inilah akar dari pola pikir yang selalu ingin menjadi yang
terhebat. Yunani. Dari akar pola pikir merekalah begitu didengungkan
tentang menjadi yang terbaik, tertinggi, terhebat, dll. Bangsa inilah
yang memiliki moto: Citius, Altius, Fortius (Tercepat, Tertinggi,
Terkuat).
Kemudian pola pikir yang kedua adalah pola pikir Ibrani. Ada sebuah
perbedaan yang sangat signifikan antara Ibrani dan Yunani. Ketika Yunani
ingin selalu menjadi yang “ter”, maka Ibrani selalu ingin menjadi
manusia yang taat, tunduk, sesuai dengan keinginan Tuhan, menyembah
Tuhan dan hal-hal yang lain. Tidak ada konsep dari orang Ibrani yang
memisahkan antara jasmani dan rohani, sama sekali tidak ada. Akibatnya
adalah orang-orang Ibrani memandang hidup mereka seutuhnya sebagai
ibadah kepada Tuhan. Inilah konsep yang sejatinya harus dianut oleh
budaya manusia hari ini. Intinya adalah kehidupan pola Ibrani merupakan
ketaatan kepada Tuhan, bagaimana menyenangkan Tuhan, serta bagaimana
hidup menurut kehendak Tuhan. Konsep hidup untuk menjadi yang terbaik,
tertinggi, terhebat, terkaya, terpenting dan sebagainya tidak masuk
dalam budaya Ibrani. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana hidup
sesuai dengan Firman Tuhan.
Belum lagi pola pikir saat ini banyak dibentuk oleh pengajaran new age
yang sebetulnya sangat berbahaya. Secara sekilas, terdapat perbedaan
yang sangat tipis antara prinsip new age dengan prinsip Alkitab. Lihat
saja buku seperti The Secret, dan juga acara televisi seperti Oprah
Winfrey yang tidak saja digandrungi oleh orang dunia, namun sangat
digilai oleh banyak orang Kristen. Kebenarannya adalah terdapat jurang
perbedaan yang sangat lebar antara pengajaran Alkitab dan pengajaran new
age. Ini adalah perangkap lain yang telah menjerat budaya manusia dan
keluarga hari-hari sekarang. Apa yang terlihat baik dianggap sebagai
sebuah kebenaran dan ini sangat-sangat berbahaya.
Mari kita hubungkan dengan konteks keluarga. Banyak orang tua akan
berpikir ketika anak-anak mereka mendapat angka yang baik di sekolah,
juara kelas, maka inilah kebenaran yang akan mereka pegang –dan pasti
benar menurut orang tua-. Waspadalah karena kelihatannya memang
demikian! Imbas kepada anak-anak adalah penerimaan dan pengakuan mereka
dalam keluarga diukur melalui pencapaian prestasi yang mereka raih.
Semua berdasarkan performance (kemampuan untuk membuktikan) dan
bukan atas hubungan kasih sayang yang murni. Keluarga Kristen sedang
hidup dengan pola pikir Yunani, pola pikir dunia, gaya hidup dunia dan
oleh sebab itu hampir tidak bisa dibedakan lagi mana keluarga Kristen
dan mana yang bukan keluarga Kristen.
Hubungan suami isteri
Sekarang mari kita lihat konteks keluarga yang sebenarnya menurut
Firman Tuhan. Esensi dari keluarga ini harus dimulai dengan hubungan
suami isteri. Tidak ada hubungan lain yang langsung dibentuk oleh Tuhan
dalam sebuah lembaga selain hubungan suami dan isteri. Bahkan
sebetulnya, tanpa kehadiran anak pun keluarga itu sudah menjadi keluarga
yang sempurna. Mengapa demikian? Karena suami siteri adalah bentukan
Tuhan sendiri. Kehadiran anak-anak merupakan perluasan dan hasil dari
hubungan antara suami isteri yang terlebih dahulu terbentuk.
Untuk menghasilkan generasi yang benar, diperlukan sebuah lembaga suami
isteri yang satu roh, jiwa dan tubuh. Tidak ada jalan lain dalam
menangkal perangkap-perangkap yang ada dalam pola dan gaya hidup dunia
kecuali melalui pasangan suami isteri yang benar-benar sepakat.
Bagaimana mendidik anak, bagaimana menjalankan bahtera keluarga, mau
dibawa kemana keluarga itu dan sebagainya. Kehidupan keluarga Ribkha dan
Yakub mencerminkan sebuah keluarga yang tidak sepakat. Hasilnya adalah
masalah besar yang dirasakan sampai hari ini. Karena ketidaksepakatan
yang lahir dari favoritisme, maka lahirlah keturunan Ishak dan lahir
juga keturunan Ismael. Itu akibat dari tidak bersatunya suami dan
isteri.
Menurut saya, seorang laki-laki tidak akan pernah menjadi ayah yang
baik sebelum ia menjadi seorang suami yang baik. Kalau mau baik sebagai
ayah, harus baik sebagai suami. Ini adalah hukum yang tidak bisa
diputar-balikkan.
Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan. Tidak mungkin seorang
perempuan menjadi ibu yang baik tanpa terlebih dahulu menjadi isteri
yang baik.
Jadi ketika antara suami dan isteri terlalu banyak perbedaan, sangat
tidak mungkin untuk membawa anak-anak kepada kehidupan dengan buah-buah
yang baik pula. Memang Tuhan bisa mengubah keadaan dari buruk mennjadi
baik. Banyak anak-anak keluarga berantakan yang akhirnya bisa menjadi
orang-orang yang luar biasa dalam Tuhan. Namun perlu diingat, kejadian
seperti ini bukan prinsip. Ini adalah kasus per kasus berdasarkan
kedaulatan Tuhan sendiri.
Secara operasional keluarga, banyak pendapat yang dipegang oleh
keluarga-keluarga sepeti ini: Anak urusan isteri, sedangkan nafkah
urusan suami. Ketika anak dididik “hanya” oleh seorang ibu dengan peran
ayah yang kecil, maka hasilnya akan sangat berbeda. Lagi-lagi tidak
mengecilkan peran orang tua yang single, karena hal itu adalah kasus dan
bukan prinsip. Timotius dan Paulus adalah contoh orang yang berhasil
meski tidak memiliki pendidikan Kristiani dari ayah dan ibu sekaligus.
Namun rancangan dan prinsip Firman Tuhan tetap tidak berubah, yaitu
peran suami dan isteri harus sama besarnya dalam mendidik seorang anak.
Peran Ayah
Saya sejenak akan membahas sejarah. Amerika dibentuk oleh pendatang
dari Inggris, yang lari dari negeri mereka karena tidak bisa menyembah
Tuhan dengan benar dan secara leluasa. Kaum ini disebut kaum puritan.
Ketika mereka mulai menapakkan kaki di tanah Amerika dan memulai
kehidupan baru disana, mereka menyembah Tuhan dengan leluasa sesuai
dengan kehendak Allah. Keluarga-keluarga datang untuk menyembah Tuhan.
Kita dapat memperoleh gambaran tenang hal ini misalnya dari sebuah mini
seri berjudul Little House on The Prairie yang menggambarkan kehidupan
yang nyata jaman itu dimana keluarga hidup dengan berladang dan
beternak. Ayah-ayah bekerja di rumah, dan anak-anak bekerja dengan ayah
dan membantu ibu. Intinya semua pekerjaan dilakukan secara bersama-sama
sebagai satu keluarga. Jaman itu adalah jaman agrikultur. Di masa inilah
fungsi Ayah berjalan dengan sangat baik. Hal-hal seperti ayah memimpin
doa di meja makan adalah aplikasi nyata akan hal itu. Ayah tampil
sebagai pemimpin keluarga dalam segala hal.
Setelah itu sekitar 250 tahun kemudian, sekitar awal 1900-an, masa
agrikultur berganti dengan masa industri. Pabrik berdiri dimana-mana dan
biasanya berlokasi relatif jauh dari pemukiman penduduk. Sejak saat itu
ayah-ayah mulai bekerja jauh dari rumah mereka. Pola inilah yang terus
terbawa sampai sekarang; anak-anak seperti menjadi tanggung jawab dari
seorang ibu saja, karena ayah mencari nafkah di luar rumah.
Era berikutnya, saat dunia usaha semakin berkembang, dan kebutuhan SDM
pun semakin memberi kesempatan kepada berbagai kalangan untuk naik ke
puncak, giliran kaum perempuan menuntut emansipasi, yaitu penyetaraan
segala hal dengan laki-laki.
Tidak disadari bahwa emansipasi adalah konsep berpikir yang diciptakan
manusia, dan ketika kita hidup keluar dari konsep Tuhan, maka banyak
masalah terjadi. Dengan sejajarnya posisi perempuan dan laki-laki, maka
dampak kepada keluarga adalah semakin berkurangnya kedudukan ayah
sebagai seorang pemimpin sentral dalam keluarga. Ketika isteri tidak
tunduk kepada suami dan menempatkan diri sejajar, inilah awal dari
banyak permasalahan keluarga.
Firman Tuhan berkata ayah harus menjadi pemimpin dan memiliki fungsi
sentral dalam sebuah keluarga. Ia harus menjadi imam yang membagikan
kebenaran kepada semua anggota keluarga. Ketika ayah tidak mengambil
peran ini, maka yang terjadi adalah berkat Tuhan tidak bisa turun dengan
leluasa. Apalagi menghasilkan generasi mendatang yang takut akan Tuhan.
Ketika ayah-ayah hanya berpikir mencari nafkah adalah sudah cukup,
sementara urusan rohani dan membimbing anak adalah urusan isteri, ini
akan menjadi awal sebuah malapetaka dalam keluarga.
Dampak buruk berikutnya dari emansipasi adalah peran mendidik anak yang
menjadi genderless (tidak mengenal jenis kelamin). Artinya tidak lagi
menjadi keharusan bagi ayah dan ibu untuk mendidik anak, atau bahkan
keduanya seolah-olah tidak menghendakinya. Peran pendidikan diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah yang dianggap terbaik, dan juga suster-suster
yang dibayar untuk menggantikan peran ayah dan ibu. Lebih parah lagi
banyak keluarga yang menganggap anak sebagai sesuatu yang merepotkan dan
bukan sebagai karunia, anugerah dan berkat Tuhan atas keluarga.
Ketika ayah bekutat dan semakin tenggelam dalam pekerjaan, bisnis dan
bahkan pelayanan sekalipun, dengan mengabaikan keluarga, maka ini jelas
bukan rencana Tuhan. Semakin sering seorang isteri mengambil keputusan
sendiri, maka semakin jauhlah keluarga itu dari rancangan Tuhan. Di
pihak lain justru hal itu seringkali membuat suami lari dari tanggung
jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus mengambil keputusan. Betul
sesekali pendelegasian harus dilakukan, namun tetap ayah harus lebih
dominan.
Waktu
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu menjadi
sebuah komoditas yang sangat mahal belakangan ini. Banyak orang berkata
waktu tidak cukup, tapi sebetulnya bukanlah demikian. Kembali lagi, itu
adalah pola pikir yang sudah terperangkap. Saya akan melemparkan
pertanyaan ini kepada orang tua,”Berapa banyak waktu yang Anda habiskan
untuk misalnya menonton televisi?”
Pertanyaan berikutnya adalah,”Relakah jika waktu tersebut dikorbankan
untuk lebih banyak bersama keluarga (isteri dan anak-anak)?”
Ingat bahwa kita sedang berbicara tentang menghasilkan sebuah generasi
yang takut akan Tuhan, memenangkan keluarga kembali kepada Tuhan.
Bersediakah orang tua membayar harga untuk tujuan mulia ini. Saya sangat
berusaha untuk setiap hari jam lima sore sudah pulang dari kantor untuk
berkumpul dan menghabiskan waktu dengan anak-anak. Semua staf di
kantor, saya minta untuk pulang segera, agar mereka punya cukup waktu
untuk keluarga. Bagi orang tua, cara menyiasati waktu adalah: Carilah
sekolah yang terdekat dengan rumah bagi anak-anak Anda. Berikutnya kalau
seandainya memungkinkan, tinggallah sedekat mungkin dengan tempat Anda
bekerja. Tapi sebetulnya yang saya anjurkan kepada para ayah adalah
berdoa dan minta apa saja kepada Tuhan, berkaitan dengan permasalahan
ini! Ini adalah kunci. Semua kembali kepada bagaimana orang tua membina
hubungan dengan Tuhan. Jika orang tua memiliki hubungan erat dengan
Tuhan, maka semua hal yang kita minta untuk kebaikan keluarga kita pasti
akan diberikan. Tanpa orang tua yang takut akan Tuhan, semua akan
menjadi serba sulit.
Ketika saya berkata seperti itu, orang mungkin akan berkata,”Kan Bapak adalah pengusaha. Bagaimana dengan kami yang karyawan?”
Kasus saya seperti ini. Sebelum saya menjadi pengusaha, saya
’mengorbankan’ karir saya dan isteri yang sangat cerah di sebuah bank
asing. Kami berpikir bahwa jika hidup seperti ini terus-menerus, maka
mengelola keluarga tidak akan pernah berhasil dengan baik. Inilah
mengapa saya mengatakan pentingnya untuk orang tua memiliki hubungan
erat dengan Tuhan. Saya dan isteri berdoa dan bergumul untuk minta
kehendak Tuhan, dan kami mendapat jawabannya. Saya harus berhenti
bekerja, merintis usaha dari nol, hidup prihatin di masa-masa awal,
mengontrak rumah karena sementara harus mengandalkan isteri sebagai
penghasil income tetap, kemudian mulai untuk pelan-pelan membangun
usaha. Apa yang saya dapatkan hari ini merupakan karunia dan anugerah
Tuhan, namun di dalamnya ada bagian dimana kami harus bekerja keras.
Tentu saja saya tidak mengatakan kepada Anda untuk keluar dari
pekerjaan. Lagi-lagi miliki hubungan erat dengan Tuhan, dan tanya Tuhan
apa yang Ia kehendaki untuk Anda lakukan. Kemudian didik anak-anak Anda
dalam takut akan Tuhan. Sediakan waktu untuk menceritakan Firman Tuhan
kepada anak-anak. Bangun iman mereka kepada Tuhan melalui interaksi
aktif dengan mereka. Pegangan untuk orang tua adalah Mazmur 1:1-3.
Setelah empat hal ini kita lakukan, maka bungkuslah semua ini dengan
rasa takut akan Tuhan dan jadikan Firman Tuhan sebagai landasan utama
dalam membangun sebuah keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar