Sabtu, 22 Desember 2012

Empat Pilar Keluarga Membangung Generasi Ilahi

Oleh Rizal Badudu
 
Pola pikir kebanyakan manusia tanpa sadar telah menjadi sebuah perangkap bagi banyak keluarga yang memusnahkan nilai-nilai sakral yang seharusnya menjadi penjamin akan pembentukan generasi ilahi. Berbicara mengenai “merebut” kembali gunung keluarga akan menjadi tantangan tersendiri di tengah-tengah era yeng seperti sekarang. Bersama Tuhan tentu tidak ada yang mustahil, namun kerja sama kita juga mutlak diperlukan. Ada empat pilar yang akan membantu kita untuk mengembalikan pendidikan keluarga pada jalur yang sebenarnya.
 
Gaya Hidup

Konsep berpikir seperti harus menjadi yang terunggul, terbaik, tertinggi dan terhebat saat ini merajai hampir semua orang tua. Yang lebih buruk lagi adalah konsep ini sering “diperkuat” dengan berbagai ayat Alkitab yang dianggap sesuai, seperti “Kamu akan menjadi kepala dan bukan ekor”. Dengan pola pikir seperti ini, banyak keluarga pada akhirnya mengejar apa yang harusnya tidak perlu dikejar. Bahkan yang Tuhan tidak inginkan untuk kita kejar.

Perhatikan bahwa Firman Tuhan tidak mengajari kita untuk menjadi yang terbaik, tertinggi, terhebat, dan sebagainya. Jika kebablasan maka orang Kristen akan merasa harus menjadi orang nomor satu di setiap bidang yang mereka tekuni. Akibat sampingan lainnya, jika orang Kristen tidak mencapai yang “ter”, maka akan dianggap memiliki dosa yang menghalanginya menjadi yang terbaik, terkaya, tertinggi dan lain-lain. Mari kita renungkan, dari mana sebetulnya pola berpikir seperti ini?

Tidak disadari bahwa pola pikir lama-kelamaan akan membentuk sebuah gaya hidup. Hal inilah yang seharusnya diwaspadai oleh setiap keluarga. Orang tua banyak yang berpikir bahwa anak-anak mereka harus menjadi yang terbaik. Kebanggaan akan sangat besar jika anak mencapai ranking teratas di sekolah, namun sebaliknya  menjadi depresi ketika anak-anak tidak berhasil memenuhi target sang orang tua. Ambisi untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah terbaik yang berlabel internasional saat ini merasuki banyak sekali orang tua. Padahal belum tentu sekolah internasional lebih baik dari sekolah yang lain. Tanpa sadar, hal-hal inilah yang dikejar mati-matian oleh setiap Papa dan Mama. Memang ini bukan hal yang sepenuhnya salah. Hanya saja, hal seperti ini bukanlah yang Tuhan inginkan. Orang tua tidak peduli sejauh apapun sebuah sekolah itu dari rumahnya, yang penting terbaik. Padahal efek sampingannya sangat vital, yaitu waktu berkumpul dengan orang tua menjadi semakin sedikit. Belum lagi anak-anak yang belum sepenuhnya siap dalam sisi mental dan kematangan, yang dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu. Semua dengan satu motivasi, yaitu mencari apa yang menurut orang tua akan menghasilkan yang TER- tadi.

Pertanyaannya adalah apakah Firman Tuhan mengajarkan bahwa jika anak kita menguasai bahasa Inggris, dia akan berhasil? Jika anak kita lancar berbicara Mandarin, maka akan sukses? Satu hal lagi yang sering dilakukan oleh orang tua adalah mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai macam les dan kursus. Bayangkan jika seorang anak harus dibebani sampai delapan macam les.

“Anak saya perlu bahasa Inggris untuk go international, anak saya perlu bahasa Mandarin karena saat ini China menguasai dunia, saya tidak bisa mengajari anak saya Fisika makanya dia perlu untuk les,” dan banyak alasan yang sangat masuk akal dilontarkan orang tua. Ini semua memang DIPERLUKAN, tapi yang tidak mereka pecahkan adalah anak-anak yang masih ada di sekolah dasar ini akan berangkat ke sekolah jam enam pagi, dan pulang jam tujuh malam, atau bahkan lebih. Anak-anak ini melebihi karyawan dan mahasiswa. Orang tua sekarang “sangat senang” melihat anaknya diperlengkapi di luar rumah –sekali lagi di luar rumah- dan kemudian berpikir bahwa semua sudah beres. Akhirnya kegiatan yang berlangsung di rumah hanyalah makan, santai dan tidur. Interaksi dan hubungan tidak lagi diindahkan.  Bagi orang tua, yang penting tidak ada konflik. Inilah gaya hidup orang tua saat ini.

Pola berikutnya adalah penggunaan suster. Tidak ada yang salah dengan hal ini, hanya saja penggunaan suster telah menjadi kebablasan. Semua hal dilakukan oleh suster. Sang suster harus berlari-lari mengejar anak untuk diberi atau disuapi makan. Bukankah makan harus berlangsung di meja makan? Inilah gaya hidup kita yang tidak pada tempatnya lagi.  Saya sering katakan bahwa ”anak-anak harus dididik untuk makan di meja makan. Mereka tidak akan mati kalau pun tidak dikejar sang suster.” Dengan cara seperti ini, semakin jauh disiplin akan bisa ditanamkan kepada anak-anak kita. Lantas kemana raibnya sang Papa dan ke mana menghilangnya sang Mama? Semuanya menjadi terbalik saat ini. Parahnya, ini semua dianggap sebagai sesuatu yang normal.

Sebetulnya jika ditarik ke belakang, kita sedang mengulang sejarah. Ada dua kebudayaan yang membentuk apa yang saat ini kita lihat dalam kehidupan masyarakat umum. Yang pertama adalah budaya Yunani. Ini merupakan sebuah kebudayaan yang dibentuk oleh para ”pemikir ulung” dengan segala filosofi mereka yang begitu kental, membentuk sikap dan gaya hidup manusia modern saat ini. Orang-orang seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Alexander Agung dan banyak yang lain lagi, begitu dipuja dan disanjung sampai hari ini. Bandingkan dengan apa yang saya pelajari tentang mereka. Kehidupan moral dari tokoh-tokoh tersebut ternyata sangat buruk. Seberapa pintar pun seseorang, jika tidak ditunjang dengan moral yang baik pasti akan menghasilkan hal-hal buruk. Banyak yang tidak mengetahui bahwa orang-orang ini adalah penganut homosexual sejati. Lantas apa yang kita bisa harapkan dari orang-orang dengan kualitas moral seperti ini untuk demikian kuatnya mempengaruhi budaya kita saat ini?  Jika tipe manusia seperti mereka dijadikan kiblat oleh peradaban manusia, tidak heran apa yang sekarang ini kita lihat adalah budaya dan gaya hidup yang begitu kacau dan terbalik. Perhatikan bahwa ini terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, 500 tahun sebelum masehi bahkan. Inilah akar dari pola pikir yang selalu ingin menjadi yang terhebat. Yunani. Dari akar pola pikir merekalah begitu didengungkan tentang menjadi yang terbaik, tertinggi, terhebat, dll. Bangsa inilah yang memiliki moto: Citius, Altius, Fortius (Tercepat, Tertinggi, Terkuat).

Kemudian pola pikir yang kedua adalah pola pikir Ibrani. Ada sebuah perbedaan yang sangat signifikan antara Ibrani dan Yunani. Ketika Yunani ingin selalu menjadi yang “ter”, maka Ibrani selalu ingin menjadi manusia yang taat, tunduk, sesuai dengan keinginan Tuhan, menyembah Tuhan dan hal-hal yang lain. Tidak ada konsep dari orang Ibrani yang memisahkan antara jasmani dan rohani, sama sekali tidak ada. Akibatnya adalah orang-orang Ibrani memandang hidup mereka seutuhnya sebagai ibadah kepada Tuhan. Inilah konsep yang sejatinya harus dianut oleh budaya manusia hari ini. Intinya adalah kehidupan pola Ibrani merupakan ketaatan kepada Tuhan, bagaimana menyenangkan Tuhan, serta bagaimana hidup menurut kehendak Tuhan. Konsep hidup untuk menjadi yang terbaik, tertinggi, terhebat, terkaya, terpenting dan sebagainya tidak masuk dalam budaya Ibrani. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana hidup sesuai dengan Firman Tuhan.

Belum lagi pola pikir saat ini banyak dibentuk oleh pengajaran new age yang sebetulnya sangat berbahaya. Secara sekilas, terdapat perbedaan yang sangat tipis antara prinsip new age dengan prinsip Alkitab. Lihat saja buku seperti The Secret, dan juga acara televisi seperti Oprah Winfrey yang tidak saja digandrungi oleh orang dunia, namun sangat digilai oleh banyak orang Kristen. Kebenarannya adalah terdapat jurang perbedaan yang sangat lebar antara pengajaran Alkitab dan pengajaran new age. Ini adalah perangkap lain yang telah menjerat budaya manusia dan keluarga hari-hari sekarang. Apa yang terlihat baik dianggap sebagai sebuah kebenaran dan ini sangat-sangat berbahaya.

Mari kita hubungkan dengan konteks keluarga. Banyak orang tua akan berpikir ketika anak-anak mereka mendapat angka yang baik di sekolah, juara kelas, maka inilah kebenaran yang akan mereka pegang –dan pasti benar menurut orang tua-. Waspadalah karena kelihatannya memang demikian! Imbas kepada anak-anak adalah penerimaan dan pengakuan mereka dalam keluarga diukur melalui pencapaian prestasi yang mereka raih. Semua berdasarkan performance (kemampuan untuk membuktikan) dan bukan atas hubungan kasih sayang yang murni. Keluarga Kristen sedang hidup dengan pola pikir Yunani, pola pikir dunia, gaya hidup dunia dan oleh sebab itu hampir tidak bisa dibedakan lagi mana keluarga Kristen dan mana yang bukan keluarga Kristen.

Hubungan suami isteri

Sekarang mari kita lihat konteks keluarga yang sebenarnya menurut Firman Tuhan. Esensi dari keluarga ini harus dimulai dengan hubungan suami isteri. Tidak ada hubungan lain yang langsung dibentuk oleh Tuhan dalam sebuah lembaga selain hubungan suami dan isteri. Bahkan sebetulnya, tanpa kehadiran anak pun keluarga itu sudah menjadi keluarga yang sempurna. Mengapa demikian? Karena suami siteri adalah bentukan Tuhan sendiri. Kehadiran anak-anak merupakan perluasan dan hasil dari hubungan antara suami isteri yang terlebih dahulu terbentuk.

Untuk menghasilkan generasi yang benar, diperlukan sebuah lembaga suami isteri yang satu roh, jiwa dan tubuh.  Tidak ada jalan lain dalam menangkal perangkap-perangkap yang ada dalam pola dan gaya hidup dunia kecuali melalui pasangan suami isteri yang benar-benar sepakat. Bagaimana mendidik anak, bagaimana menjalankan bahtera keluarga, mau dibawa kemana keluarga itu dan sebagainya. Kehidupan keluarga Ribkha dan Yakub mencerminkan sebuah keluarga yang tidak sepakat. Hasilnya adalah masalah besar yang dirasakan sampai hari ini. Karena ketidaksepakatan yang lahir dari favoritisme, maka lahirlah keturunan Ishak dan lahir juga keturunan Ismael. Itu akibat dari tidak bersatunya suami dan isteri.

Menurut saya, seorang laki-laki tidak akan pernah menjadi ayah yang baik sebelum ia menjadi seorang suami yang baik. Kalau mau baik sebagai ayah, harus baik sebagai suami. Ini adalah hukum yang tidak bisa diputar-balikkan.

Hal yang sama juga berlaku bagi perempuan. Tidak mungkin seorang perempuan menjadi ibu yang baik tanpa terlebih dahulu menjadi isteri yang baik.

Jadi ketika antara suami dan isteri terlalu banyak perbedaan, sangat tidak mungkin untuk membawa anak-anak kepada kehidupan dengan buah-buah yang baik pula. Memang Tuhan bisa mengubah keadaan dari buruk mennjadi baik. Banyak anak-anak keluarga berantakan yang akhirnya bisa menjadi orang-orang yang luar biasa dalam Tuhan. Namun perlu diingat, kejadian seperti ini bukan prinsip. Ini adalah kasus per kasus berdasarkan kedaulatan Tuhan sendiri.

Secara operasional keluarga, banyak pendapat yang dipegang oleh keluarga-keluarga sepeti ini: Anak urusan isteri, sedangkan nafkah urusan suami. Ketika anak dididik “hanya” oleh seorang ibu dengan peran ayah yang kecil, maka hasilnya akan sangat berbeda. Lagi-lagi tidak mengecilkan peran orang tua yang single, karena hal itu adalah kasus dan bukan prinsip. Timotius dan Paulus adalah contoh orang yang berhasil meski tidak memiliki pendidikan Kristiani dari ayah dan ibu sekaligus. Namun rancangan dan prinsip Firman Tuhan tetap tidak berubah, yaitu peran suami dan isteri harus sama besarnya dalam mendidik seorang anak.

Peran Ayah

Saya sejenak akan membahas sejarah. Amerika dibentuk oleh pendatang dari Inggris, yang lari dari negeri mereka karena tidak bisa menyembah Tuhan dengan benar dan secara leluasa. Kaum ini disebut kaum puritan. Ketika mereka mulai menapakkan kaki di tanah Amerika dan memulai kehidupan baru disana, mereka menyembah Tuhan dengan leluasa sesuai dengan kehendak Allah. Keluarga-keluarga datang untuk menyembah Tuhan. Kita dapat memperoleh gambaran tenang hal ini misalnya dari sebuah mini seri berjudul Little House on The Prairie yang menggambarkan kehidupan yang nyata jaman itu dimana keluarga hidup dengan berladang dan beternak. Ayah-ayah bekerja di rumah, dan anak-anak bekerja dengan ayah dan membantu ibu. Intinya semua pekerjaan dilakukan secara bersama-sama sebagai satu keluarga. Jaman itu adalah jaman agrikultur. Di masa inilah fungsi Ayah berjalan dengan sangat baik. Hal-hal seperti ayah memimpin doa di meja makan adalah aplikasi nyata akan hal itu. Ayah tampil sebagai pemimpin keluarga dalam segala hal.

Setelah itu sekitar 250 tahun kemudian, sekitar awal 1900-an, masa agrikultur berganti dengan masa industri. Pabrik berdiri dimana-mana dan biasanya berlokasi relatif jauh dari pemukiman penduduk. Sejak saat itu ayah-ayah mulai bekerja jauh dari rumah mereka. Pola inilah yang terus terbawa sampai sekarang; anak-anak seperti menjadi tanggung jawab dari seorang ibu saja, karena ayah mencari  nafkah di luar rumah.

Era berikutnya, saat dunia usaha semakin berkembang, dan kebutuhan SDM pun semakin memberi kesempatan kepada berbagai kalangan untuk naik ke puncak, giliran kaum perempuan menuntut emansipasi, yaitu penyetaraan segala hal dengan laki-laki.

Tidak disadari bahwa emansipasi adalah konsep berpikir yang diciptakan manusia, dan ketika kita hidup keluar dari konsep Tuhan, maka banyak masalah terjadi. Dengan sejajarnya posisi perempuan dan laki-laki, maka dampak kepada keluarga adalah semakin berkurangnya kedudukan ayah sebagai seorang pemimpin sentral dalam keluarga. Ketika isteri tidak tunduk kepada suami dan menempatkan diri sejajar, inilah awal dari banyak permasalahan keluarga.

Firman Tuhan berkata ayah harus menjadi pemimpin dan memiliki fungsi sentral dalam sebuah keluarga. Ia harus menjadi imam yang membagikan kebenaran kepada semua anggota keluarga. Ketika ayah tidak mengambil peran ini, maka yang terjadi adalah berkat Tuhan tidak bisa turun dengan leluasa. Apalagi menghasilkan generasi mendatang yang takut akan Tuhan. Ketika ayah-ayah hanya berpikir mencari nafkah adalah sudah cukup, sementara urusan rohani dan membimbing anak adalah urusan isteri, ini akan menjadi awal sebuah malapetaka dalam keluarga.

Dampak buruk berikutnya dari emansipasi adalah peran mendidik anak yang menjadi genderless (tidak mengenal jenis kelamin). Artinya tidak lagi menjadi keharusan bagi ayah dan ibu untuk mendidik anak, atau bahkan keduanya seolah-olah tidak menghendakinya. Peran pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah yang dianggap terbaik, dan juga suster-suster yang dibayar untuk menggantikan peran ayah dan ibu. Lebih parah lagi banyak keluarga yang menganggap anak sebagai sesuatu yang merepotkan dan bukan sebagai karunia, anugerah dan berkat Tuhan atas keluarga.

Ketika ayah bekutat dan semakin tenggelam dalam pekerjaan, bisnis dan bahkan pelayanan sekalipun, dengan mengabaikan keluarga, maka ini jelas bukan rencana Tuhan. Semakin sering seorang isteri mengambil keputusan sendiri, maka semakin jauhlah keluarga itu dari rancangan Tuhan. Di pihak lain justru hal itu seringkali membuat suami lari dari tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus mengambil keputusan. Betul sesekali pendelegasian harus dilakukan, namun tetap ayah harus lebih dominan.

Waktu

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah waktu. Waktu menjadi sebuah komoditas yang sangat mahal belakangan ini. Banyak orang berkata waktu tidak cukup, tapi sebetulnya bukanlah demikian. Kembali lagi, itu adalah pola pikir yang sudah terperangkap. Saya akan melemparkan pertanyaan ini kepada orang tua,”Berapa banyak waktu yang Anda habiskan untuk misalnya menonton televisi?”

Pertanyaan berikutnya adalah,”Relakah jika waktu tersebut dikorbankan untuk lebih banyak bersama keluarga (isteri dan anak-anak)?”

Ingat bahwa kita sedang berbicara tentang menghasilkan sebuah generasi yang takut akan Tuhan, memenangkan keluarga kembali kepada Tuhan. Bersediakah orang tua membayar harga untuk tujuan mulia ini. Saya sangat berusaha untuk setiap hari jam lima sore sudah pulang dari kantor untuk berkumpul dan menghabiskan waktu dengan anak-anak. Semua staf di kantor, saya minta untuk pulang segera, agar mereka punya cukup waktu untuk keluarga. Bagi orang tua, cara menyiasati waktu adalah: Carilah sekolah yang terdekat dengan rumah bagi anak-anak Anda. Berikutnya kalau seandainya memungkinkan, tinggallah sedekat mungkin dengan tempat Anda bekerja. Tapi sebetulnya yang saya anjurkan kepada para ayah adalah berdoa dan minta apa saja kepada Tuhan, berkaitan dengan permasalahan ini! Ini adalah kunci. Semua kembali kepada bagaimana orang tua membina hubungan dengan Tuhan. Jika orang tua memiliki hubungan erat dengan Tuhan, maka semua hal yang kita minta untuk kebaikan keluarga kita pasti akan diberikan. Tanpa orang tua yang takut akan Tuhan, semua akan menjadi serba sulit.

Ketika saya berkata seperti itu, orang mungkin akan berkata,”Kan Bapak adalah pengusaha. Bagaimana dengan kami yang karyawan?”

Kasus saya seperti ini. Sebelum saya menjadi pengusaha, saya ’mengorbankan’ karir saya dan isteri yang sangat cerah di sebuah bank asing. Kami berpikir bahwa jika hidup seperti ini terus-menerus, maka mengelola keluarga tidak akan pernah berhasil dengan baik. Inilah mengapa saya mengatakan pentingnya untuk orang tua memiliki hubungan erat dengan Tuhan. Saya dan isteri berdoa dan bergumul untuk minta kehendak Tuhan, dan kami mendapat jawabannya. Saya harus berhenti bekerja, merintis usaha dari nol, hidup prihatin di masa-masa awal, mengontrak rumah karena sementara harus mengandalkan isteri sebagai penghasil income tetap, kemudian mulai untuk pelan-pelan membangun usaha. Apa yang saya dapatkan hari ini merupakan karunia dan anugerah Tuhan, namun di dalamnya ada bagian dimana kami harus bekerja keras. Tentu saja saya tidak mengatakan kepada Anda untuk keluar dari pekerjaan. Lagi-lagi miliki hubungan erat dengan Tuhan, dan tanya Tuhan apa yang Ia kehendaki untuk Anda lakukan. Kemudian didik anak-anak Anda dalam takut akan Tuhan. Sediakan waktu untuk menceritakan Firman Tuhan kepada anak-anak. Bangun iman mereka kepada Tuhan melalui interaksi aktif dengan mereka. Pegangan untuk orang tua adalah Mazmur 1:1-3.

Setelah empat hal ini kita lakukan, maka bungkuslah semua ini dengan rasa takut akan Tuhan dan jadikan Firman Tuhan sebagai landasan utama dalam membangun sebuah keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Geither Live